Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka (ꦲꦤꦕꦫꦏ) dan Carakan (ꦕꦫꦏꦤ꧀), adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak. Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida. Setiap huruf pada aksara Jawa melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat dimodifikasi dengan sejumlah tanda baca vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), konsonan akhir, dan ejaan asing. Huruf memiliki bentuk subskrip yang berguna untuk menulis tumpukan konsonan di tengah kalimat, dan beberapa diantaranya memiliki bentuk "kapital" yang digunakan untuk menulis nama. Terdapat pula tanda-tanda yang setara dengan koma, titik, titik dua, serta kutip, dan terdapat pula tanda yang menunjukkan angka, membuka puisi/tembang, mengawali surat, dll. Aksara Jawa ditulis tanpa spasi (scriptio continua), dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata.
Sejarah
Wadana atau halaman muka Serat arjunawijaya. Dari koleksi Kraton Yogyakarta.
Tulisan Jawa dan Bali adalah perkembangan modern aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut terutama digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sansekerta yang biasa ditulis dalam naskah daun lontar. Perbedaan terdapat pada bentuk aksara, sementara ortografi keduanya hampir sama. Perbedaan juga terlihat pada perlakuan huruf dasar, dimana sejumlah huruf diabaikan pada ortografi kontemporer karena tidak dipakai dalam bahasa Jawa modern.
Pada periode kerajaan Islam, diperkenalkan urutan hanacaraka untuk memudahkan pengingatan duapuluh konsonan yang dipakai dalam bahasa Jawa. Urutan tersebut tidak mengikutsertakan aksara mahaprana dan murda karena penggunaannya yang menurun sejak perkenalan Islam, namun keduanya masih dipertahankan untuk ejaan baku. Aksara rekan untuk menulis bahasa asing (pada masa itu terutama untuk bahasa Arab) juga pertama kali berkembang pada masa ini. Pada abad 17, tulisan tersebut telah berkembang menjadi bentuk modernnya dan dikenal sebagai Carakan.
Carakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan-kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta. Naskah dengan tulisan tersebut dapat berupa cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), dan ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang. Naskah umum dihias dan jarang yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.
Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standarisasi ortografi aksara Jawa. Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, diantaranya "Patokan Panoelise Temboeng Djawa" oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946, dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006. KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di Unicode.
Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926, dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti "Jaka Lodhang". Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.
Karakter
Huruf
Halaman judul sebuah buku dari tahun 1898 yang merayakan naiknya Ratu Wilhelmina. Dicetak di Semarang
Sebuah huruf dasar tanpa tanda baca disebut sebagai sebuah aksara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫ), yang merepresentasikan suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/ tergantung dari posisinya. Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dimana dialek Jawa Barat cenderung menggunakan /a/ sementara dialek Jawa Timur lebih cenderung menggunakan /ɔ/. Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:
- Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
- Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
- Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, kecuali dua huruf setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.
Aksara Nglegéna
Terdapat 20 huruf dasar bernama aksara nglegéna (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦊꦒꦺꦤ) yang digunakan dalam bahasa Jawa modern, yaitu:
ha
|
na
|
ca
|
ra
|
ka
|
hɔ/ɔ
|
nɔ
|
tʃɔ
|
ɽɔ
|
kɔ
|
da
|
ta
|
sa
|
wa
|
la
|
dɔ
|
tɔ
|
sɔ
|
wɔ
|
ɭɔ
|
pa
|
dha
|
ja
|
ya
|
nya
|
pɔ
|
ɖɔ
|
dʒɔ
|
jɔ
|
ɲɔ
|
ma
|
ga
|
ba
|
tha
|
nga
|
mɔ
|
gɔ
|
bɔ
|
ʈɔ
|
ŋɔ
|
- Huruf 'ha' juga dapat dibaca sebagai 'a'.
Aksara Murda
Aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) atau aksara gedé digunakan seperti halnya huruf kapital dalam tulisan latin, kecuali untuk menandakan awal suatu kalimat. Murda digunakan pada huruf pertama suatu nama, umumnya nama tempat atau orang yang dihormati. Tidak semua aksara mempunyai bentuk murda, dan apabila huruf pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, huruf kedua yang menggunakan murda. Apabila huruf kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka huruf ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan.
Perlu diperhatikan bahwa huruf ca murda tidak lazim digunakan. Bentuk pastinya tidak diketahui karena umumnya hanya bentuk pasangannya yang diapakai.
na
|
ca
|
ka
|
ta
|
sa
|
pa
|
nya
|
ga
|
ba
|
Pasangan
Untuk menulis suatu konsonan murni, tanda baca pangkon digunakan untuk menekan vokal huruf dasar. Namun pangkon hanya boleh dipakai di akhir kalimat, dan apabila konsonan terjadi di tengah kalimat, huruf pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀) digunakan.
Pasangan adalah huruf subskrip yang menghilangkan vokal inheren aksara tempat ia terpasang. Misal, apabila huruf na dipasangkan dengan pasangan da, maka akan dibaca nda. Setiap huruf mempunyai pasangannya masing-masing, dengan bentuk dan peletakan yang beragam.
Pasangan dapat diberi tanda baca, seperti halnya aksara dasar, dengan beberapa pengecualian pada penempatan. Tanda baca yang berada di atas dipasang pada aksara, sementara tanda baca yang berada di bawah dipasang pada pasangan. Tanda baca yang berada sebelum dan sesudah huruf dipasang segaris dengan aksara. Sebuah aksara hanya boleh dipasang dengan satu pasangan, dan pasangan dapat dipasang dengan sejumlah tanda baca. Dalam teks lama, pasangan wa dapat ditempelkan dengan pasangan lain sebagai pengecualian karena dianggap sebagai tanda baca.
ha
|
na
|
ca
|
ra
|
ka
|
da
|
ta
|
sa
|
wa
|
la
|
pa
|
dha
|
ja
|
ya
|
nya
|
ma
|
ga
|
ba
|
tha
|
nga
|
na
|
ca
|
ka
|
ta
|
sa
|
pa
|
nya
|
ga
|
ba
|
Aksara Swara
Vokal murni umumnya ditulis dengan huruf ha (yang dapat merepresentasikan konsonan kosong) dengan tanda baca yang sesuai. Selain cara tersebut, terdapat juga huruf yang merepresentasikan vokal murni bernama aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) yang digunakan untuk menandakan sebuah nama, seperti halnya huruf murda. Sebagai contoh, kata sifat "ayu" ditulis dengan huruf ha. Namun untuk menulis seseorang yang bernama "Ayu", aksara swara digunakan. Swara juga digunakan untuk mengeja kata bahasa asing. Unsur Argon semisal, ditulis dengan swara.
a
|
i
|
u
|
é
|
o
|
a/ɔ
|
i
|
u
|
e/ɛ
|
o
|
Tanda baca
Tanda baca disebut sandhangan (ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀). Fungsi utama sandhangan adalah untuk mengubah vokal huruf dasar. Selain itu, sandhangan juga memiliki sejumlah fungsi lain.
Vokal
Tanda baca vokal disebut sebagai sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ), dan merupakan tanda baca yang paling umum. Terdapat lima sandhangan untuk bahasa Jawa modern. Tanda baca vokal tidak boleh digunakan lebih dari satu dalam sebuah aksara, dengan pengecualian tarung yang dapat digunakan dalam beberapa kombinasi terbatas, semisal taling-tarung. Terdapat pula kombinasi pepet-tarung, namun hanya digunakan dalam transkripsi bahasa Sunda. Sebuah tarung tunggal juga dapat merepresentasikan -a panjang (/aː/), namun vokal tersebut hanya digunakan dalam bahasa Jawa Kuno. Tanda baca vokal dapat digunakan bersama tanda baca konsonan.
Dalam teks tertentu, wulu dan pepet hanya dibedakan dari ukurannya; wulu lebih kecil dan pepet lebih besar. Namun perbedaan ukuran ini kadang kurang kentara dalam tulisan tangan atau teks kaligrafik.
a
|
i
|
u
|
e
|
é
|
o
|
-
|
Wulu
|
Suku
|
Pepet
|
Taling
|
Taling-tarung
|
ꦏ
|
ꦏꦶ
|
ꦏꦸ
|
ꦏꦼ
|
ꦏꦺ
|
ꦏꦺꦴ
|
ka/kɔ
|
ki
|
ku
|
kə
|
ke/kɛ
|
ko
|
Konsonan
Terdapat dua jenis tanda baca konsonan, tanda baca pengakhir (sandhangan panyigeging wanda, ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ), dan tanda baca penyisip (sandhangan wyanjana, ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀ꦮꦾꦤ꧀ꦗꦤ. Pangkon memiliki fungsi yang sama seperti halnya virama dalam aksara Brahmilainnya, yakni untuk menghilangkan vokal suatu huruf dasar untuk membentuk konsonan akhir. Namun beberapa konsonan akhir mempunyai tanda baca khusus, dimana dalam kasus tersebut pangkon tidak boleh digunakan. Misal, konsonan akhir -r ditulis dengan layar, tidak boleh dengan ra dan pangkon. Seperti halnya tanda baca vokal, tanda baca konsonan tidak boleh digunakan lebih dari satu dalam satu huruf, namun boleh digunakan bersama dengan tanda baca vokal.
Panyangga
|
Cecak
|
Wignyan
|
Layar
|
Pangkon
|
kaṃ
|
kang
|
kah
|
kar
|
-k
|
ꦏꦀ
|
ꦏꦁ
|
ꦏꦃ
|
ꦏꦂ
|
ꦏ꧀
|
- Panyangga umumnya hanya digunakan untuk simbol suci Om.
Cakra
|
Keret
|
Pengkal
|
kra
|
kre
|
kya
|
ꦏꦿ
|
ꦏꦽ
|
ꦏꦾ
|
- Cakra mempunyai dua bentuk, inisial dan ligatura yang ditunjukkan pada contoh diatas. Bentuk kedua lebih sering digunakan.
- Keret tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal karena telah memiliki vokal /ə/.
Karakter Tambahan
Aksara Mahaprana
Mahaprana, secara harfiah berarti "dibaca dengan nafas berat", adalah huruf yang awalnya merepresentasikan bunyi teraspirasi yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno dan terjemahan Sansekerta, namun sekarang tidak lagi dipakai. Karena jarang digunakan dan tidak terdefinisi dengan baik, huruf mahaprana sangatlah langka. Terkadang, mahaprana dikategorikan sebagai murda, baik secara sengaja ataupun karena kesalahpahaman.
dha
|
sa
|
ja
|
tha
|
Aksara lain-lain
Pa cerek dan nga lelet awalnya adalah konsonan-vokalik /r̥/ dan /l̥/ yang muncul pada perkembangan awal aksara Jawa karena pengaruh bahasa Sansekerta. Ortografi kontemporer menggunakan keduanya sebagai aksara ganten atau "aksara pengganti", yaitu huruf dengan vokal /ə/ yang menggantikan setiap kombinasi ra+pepet dan la+pepet. Karena sudah memiliki vokal tetap, kedua huruf tersebut tidak dapat dipasangkan dengan tanda baca vokal. Keduanya juga memiliki bentuk pasangan.
Secara historis, ra agung digunakan untuk menulis nama orang yang dihormati, seperti halnya huruf murda. Namun, huruf itu sendiri tidak dikategorikan sebagai murda dan tidak memiliki akar Kawi ataupun Pallawa.
pa cerek
|
nga lelet
|
ra agung
|
rə
|
lə
|
ra
|
Penulisan asing
Kebanyakan bunyi yang asing dalam bahasa Jawa ditulis dengan tanda baca cecak telu diatas huruf yang bunyinya mendekati. Huruf semacam itu disebut sebagai rekan atau rekaan, yang diklasifikan berdasarkan bahasa asalnya. Rekan paling umum berasal dari bahasa Arab dan bahasa Belanda. Terdapat pula dua jenis rekan lainnya yang digunakan untuk menulis bahasa Sunda dan kata serapan bahasa Cina.
fa
|
qa
|
va
|
za
|
tsa
|
ḥa
|
kha
|
dza
|
za
|
ṣa
|
ḍa
|
ṭa
|
ẓa
|
a'
|
gha
|
fa
|
qa
|
θa
|
ħa
|
xa
|
ða
|
za
|
sˤa
|
ðˤa
|
tˤa
|
dˤa
|
ʔ
|
ɣa
|
fa
|
qa
|
nya
|
reu
|
leu
|
ɳa
|
rɤ
|
lɤ
|
the
|
se
|
nie
|
hwe
|
yo
|
syo
|
Vokal tambahan
aa
|
ii
|
uu
|
ai
|
au
|
aː
|
iː
|
uː
|
ai
|
au
|
aa
|
ii
|
uu
|
ai
|
au
|
eu
|
Tarung
|
Wulu melik
|
Suku mendut
|
Dirga muré
|
Dirga muré-tarung
|
Pepet-tarung
|
ꦏꦴ
|
ꦏꦷ
|
ꦏꦹ
|
ꦏꦻ
|
ꦏꦻꦴ
|
ꦏꦼꦴ
|
kaː
|
kiː
|
kuː
|
kai
|
kau
|
kɤ
|
Angka
Sistem angka Jawa mempunyai numeralnya sendiri, yang hanya terdiri dari angka 0–9 sebagai berikut:
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
0
|
siji
|
loro
|
telu
|
papat
|
lima
|
enem
|
pitu
|
wolu
|
sanga
|
nol
|
Untuk menulis angka yang lebih besar dari 9, gabungkan dua angka atau lebih diatas seperti halnya angka Arab. Misal, 21 ditulis dengan menggabungkan 2 dan 1 menjadi; ꧒꧑. Dengan cara kerja yang sama, 90 ditulis dengan ꧙꧐.
Beberapa angka Jawa memiliki bentuk yang sangat mirip dengan karakter silabel Jawa, semisal ꧖ (6) dengan ꦌ (aksara e), dan ꧗ (7) dengan ꦭ (la). Untuk menghindari kerancuan, angka yang muncul dalam teks ditandai dengan tanda pada pangkat, yang ditulis sebelum dan setelah angka. Misal, "Selasa 19 Maret 2013" ditulis dengan:
ꦱꦼꦭꦱ꧇꧑꧙꧇ꦩꦉꦠ꧀꧇꧒꧐꧑꧓꧇
Tanda Baca
Naskah Jawa, terutama yang dibuat di Kraton, umum dihias dengan berbagai dekorasi. Tanda baca tertentu juga diperlakukan selayaknya dekorasi, karena itu banyak variasi yang dapat ditemukan dalam naskah Jawa.
Tanda baca dapat dibagi menjadi dua: umum dan khusus.
Nama
|
Gambar
|
Fungsi
|
|---|---|---|
Pada adeg
| ||
Pada adeg-adeg
|
Mengawali suatu paragraf
| |
Pada piseleh
|
Berfungsi seperti halnya pada adeg
| |
Pada lingsa
| ||
Pada lungsi
|
Terdapat dua peraturan khusus mengenai penggunaan koma.
1. Koma tidak ditulis setelah kata yang berujung pangkon.
2. Koma menjadi titik apabila tetap ditulis setelah pangkon.
Nama
|
Gambar
|
Fungsi
|
|---|---|---|
Rerengan
|
Mengapit judul
| |
Pada luhur
|
Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih tua atau berderajat lebih tinggi
| |
Pada madya
|
Mengawali sebuah surat untuk orang yang sebaya atau berderajat sama
| |
Pada andhap
|
Mengawali sebuah surat untuk orang yang lebih muda atau berderajat lebih rendah
| |
Pada guru
|
Mengawali sebuah surat tanpa membedakan umur atau derajat
| |
Pada pancak
|
Mengakhiri suatu surat
| |
Purwa pada
|
Menandakan awal suatu puisi
| |
Madya pada
|
Menandakan tembang baru dalam suatu puisi
| |
Wasana pada
|
Menandakan akhir puisi.
|
Tanda baca khusus berasal dari naskah keraton yang sangat dekoratif, sehingga bentuknya lebih rumit dibanding tanda baca umum. Tanda baca ini juga memiliki banyak varian karena sifatnya yang ornamental, dihias berdasarkan selera dan kemampuan penulis.
Terdapat juga beberapa tanda baca yang tidak dikategorikan dalam dua pada tersebut:
Name
|
Font
|
|---|---|
Tirta tumétés
|
꧞
|
Isen-isen
|
꧟
|
Pada rangkep
|
ꧏ
|
Tirta tumétés dan Isen-isen memiliki fungsi unik yang sekarang tidak ditemukan lagi dalam ortografi Jawa modern sebagai "tanda perbaikan". Apabila terjadi kesalahan penulisan, bagian yang salah diberikan salah satu dari dua tanda tersebut sebanyak tiga kali. Tirta tumétés digunakan oleh penulis Yogyakarta, sementara Isen-isen digunakan oleh penulis Surakarta. Sebagai contoh, seorang penulis dari Yogyakarta ingin menulis pada luhur namun salah tulis menjadi pada wu..., maka akan ditulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pada wu---luhur
Penulis dari Surakarta akan menulis:
ꦥꦢꦮꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ
Pangrangkep pada dasarnya adalah angka Arab dua (٢) yang menandakan kata berulang. Menariknya, metode menggunakan angka untuk menandakan kata berulang bertahan dalam ortografi Bahasa Indonesia dengan tulisan latin. Metode ini menjadi tidak resmi sejak EYD tahun 1972, namun penggunaannya masih sering terlihat dalam bahasa tertulis masa kini, seperti "hati2" atau "anak2"
Urutan Huruf
Urutan paling umum dalam aksara Jawa adalah urutan hanacaraka, dimana 20 huruf dasar disusun membentuk puisi atau pangram sempurna yang menceritakan tentang tokoh legendaris Aji Saka dan awal mula terciptanya aksara Jawa, sebagai berikut;
yang penerjemahannya sebagai berikut:
Terdapat dua utusan/pembawa pesan. Yang berbeda pendapat. (Mereka berdua) sama kuatnya. Inilah mayat mereka.
Aksara Jawa juga dapat disusun dengan urutan kaganga yang mengikuti kaidah Panini. Urutan ini dipakai untuk mengatur aksara Jawa pada periode Hindu-Buddha, dan sekarang masih dipakai sebagai urutan aksara Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap huruf dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno. Urutannya sebagai berikut:
k
|
kh
|
g
|
gh
|
ṅ
|
c
|
ch
|
j
|
jh
|
ñ
|
ṭ
|
ṭh
|
ḍ
|
ḍh
|
ṇ
|
t
|
th
| |
|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
k
|
kʰ
|
ɡ
|
ɡʱ
|
ŋ
|
tʃ
|
tʃʰ
|
dʒ
|
dʒʱ
|
ɲ
|
ʈ
|
ʈʰ
|
ɖ
|
ɖʱ
|
ɳ
|
t̪
|
t̪ʰ
| |
Javanese
|
ꦏ
|
ꦑ
|
ꦒ
|
ꦓ
|
ꦔ
|
ꦕ
|
ꦖ
|
ꦗ
|
ꦙ
|
ꦚ
|
ꦛ
|
ꦜ
|
ꦝ
|
ꦞ
|
ꦟ
|
ꦠ
|
ꦡ
|
d
|
dh
|
n
|
p
|
ph
|
b
|
bh
|
m
|
y
|
r
|
l
|
v
|
ś
|
ṣ
|
s
|
h
| |
|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
d̪
|
d̪ʱ
|
n
|
p
|
pʰ
|
b
|
bʱ
|
m
|
j
|
ɾ
|
l
|
ʋ
|
ʃ
|
ʂ
|
s
|
ɦ
| |
Javanese
|
ꦢ
|
ꦣ
|
ꦤ
|
ꦥ
|
ꦦ
|
ꦧ
|
ꦨ
|
ꦩ
|
ꦪ
|
ꦫ
|
ꦭ
|
ꦮ
|
ꦯ
|
ꦰ
|
ꦱ
|
ꦲ
|
Kalangan neo-konservatif Jawa juga mengemukakan urutan alternatif yang dengan ciri kedua urutan diatas. Huruf disusun berdasarkan sekuensi hanacaraka, namun huruf murda dan mahaprana diikutsertakan beserta bunyi aslinya sebagaimana dalam urutan kaganga. Hal ini dianggap memudahkan pelafalan dan berguna untuk menulis bahasa asing. Urutannya sebagai berikut:
ha
|
na
|
nna
|
ca
|
cha
|
ra
|
rra
|
ka
|
kha
|
ꦲ
|
ꦤ
|
ꦟ
|
ꦕ
|
ꦖ
|
ꦫ
|
ꦬ
|
ꦏ
|
ꦑ
|
da
|
dha
|
ta
|
tha
|
sa
|
sha
|
ssa
|
wa
|
la
|
ꦢ
|
ꦣ
|
ꦠ
|
ꦡ
|
ꦱ
|
ꦯ
|
ꦰ
|
ꦮ
|
ꦭ
|
pa
|
pha
|
dha
|
ddha
|
ja
|
jha
|
ya
|
nya
|
jnya
|
ꦥ
|
ꦦ
|
ꦝ
|
ꦞ
|
ꦗ
|
ꦙ
|
ꦪ
|
ꦚ
|
ꦘ
|
ma
|
ga
|
gha
|
ba
|
bha
|
tha
|
ttha
|
nga
| |
ꦩ
|
ꦒ
|
ꦓ
|
ꦧ
|
ꦨ
|
ꦛ
|
ꦜ
|
ꦔ
|
Penggunaan
Aksara Jawa yang dipakai pada papan nama jalan di Surakarta.
Aksara jawa sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah wilayah berbahasa Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, sebagai bagian dari muatan lokal kelas 3 hingga 5 SD. Walaupun demikian, penggunaan sehari-hari, seperti dalam media cetak atau televisi, masih sangat terbatas dan terdesak oleh penggunaan aksara Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Namun selain itu, usaha-usaha revivalisasi hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya pengembangan ortografi dan tipografi aksara, serta digitalisasi komputer yang sulit dilakukan karena kompleksitas aksara Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar